Minggu, 12 Desember 2010

Jogja (again)

JOGJA
“Dis, kamu ke Jogja ya sore ini juga”, Big Boss tergopoh-gopoh menghampiri mejaku.
“Sore ini pak? Ada apa?” Tanyaku heran.
“Kamu urus tuh Diman, dia buat ulah lagi disana. Bambang udah gak bisa handle katanya. Saya udah siapkan driver, pokoknya besok Saya nggak mau masalah ini masih saja dibahas”. Wah kalo big boss udah bilang pokoknya, berarti udah nggak bisa dibantah lagi. Kalimat sanggahan ku yang pertama adalah,” harus saya pak?”
“Saya rasa Cuma kamu yang bisa mengatasinya”.
“Saya ijin pulang dulu ya pak, packing”.
“Makanya, lain kali sediakan beberapa potong baju dikantor jadi kalau harus tiba – tiba keluar kota siap saat itu juga. Lagi pula kamu kan doyan belanja, bisa beli baju disana kan? Gitu aja kok repot. Jangan kaya orang susah gitu lah”. Aku hanya manggut-manggut tak mau berdebat lagi dengan bos. Aku ini ke kantor mau kerja bukan pindah tidur, ngapain juga bawa2 pakaian ganti. Runtukku dalam hati, yah hanya dalam hati. Adil, nama bos ku ini, memang serius tapi sebenarnya santai. Yah kalau udah bilang pokoknya ya berarti harus dilaksanakan. Tapi tak pernah merintah orang dengan membentak. Orangnya benar2 adil, seperti namanya yang hanya ADIL –tanpa lanjutan-
Kulirik jam kecil berbentuk Bart Simpson di meja kerjaku, setengah satu. Masih ada waktu untuk packing. Siapkan beberapa baju saja, nggak ingin berlama2 disana. Kalaupun terpaksa, yah belanja deh. Butuh waktu tak sampai sepuluh menit tuk sampai kontrakan kecilku diperumahan dekat kantor. Tiga setengah jam tuk sampai Jogja. Berarti masih ada waktu dan tidak terlalu malam untuk bertemu dengan Pak Bambang, Branch Manager Jogja.
“Berangkat sekarang, mbak Dis?” Tanya Arif, driver kantor.
“Bentar Rif, aku packing dulu. Nanti aku balik kantor lagi kok. Mau ninggal mobil dikantor aja, sepertinya lebih aman”. Kataku sambil berlalu.
“Ok, mbak. Kalau sudah siap call me yah?” Teriaknya. Aku hanya tersenyum. Aku lebih suka berteman dengan orang2 yang sering disebut orang belakang. Aku lebih dekat dengan mereka ketimbang mendekati atasan2 ku. Aku gak mau cari muka. Karena mereka juga sama denganku. Sama2 pegawai. Yang membedakan hanya jenis pekerjaan dan gaji. Aku berjalan gontai menuju mobilku yang terparkir dibelakang kantor. Aku sebenarnya belum siap untuk ke Jogja. Lagi2 hatiku berdesir membayangkan tentang Jogja.
Dissa menstarter mobil dan menyalakan ACnya. Sengaja ia menunggu supaya agak dingin di terik siang seperti ini. Lagi2 ia membayangkan Jogja. Untung saja urusannya ini hanya persoalan kantor, bukan jalan2 atau hal2 refresing lainnya. Dan tiba2 ia merasakan kerinduan yang teramat dalam. Ini hari Kamis, besok ngurusin kantor, berarti lusa weekend. Kenapa tidak sekalian saja liburan. Ah, Jogja memang begitu banyak kenangan yang menyenangkan namun akhirnya menyakitkan. Tapi tetap saja ingin kembali kesana.
Dissa memperlambat lajunya ketika melewati pos satpam. Kebetulan Arif ada disana. “Rif, nanti aku berangkat sendiri aja deh, langsung dari rumah. Setelah urusan selesai masih ada urusan lain yang menunggu. Jadi aku mau stay disana weekend nanti, OK?” Aku berubah pikiran.
“Nanti kalau Pak Adil tanya mbak?”
“Nanti aku yang kabarin Pak Adil sendiri yah, gak usah kuatir. Oya, tolong bilang ke Mas Tarno sering2 cek rumah aku ya?”
“Siap mbak!”
Mas Tarno adalah Ob di kantor. Kebetulan rumahnya di belakang rumah. Jadi kalau aku keluar kota, sering nitip rumah ma dia. Istrinya juga tiap hari bekerja untukku, membantu mencuci pakaian dan beberes rumah. Sebenarnya mereka sudah ku anggap seperti keluarga sendiri. Maklum lah, aku ini tinggal sendirian di kota ini. Orang tuaku di Surabaya, adikku satu2nya kuliah di Bandung. Dan aku terdampar di Semarang.
Aku sudah terbiasa berkendara jauh, jadi aku rasa tidak masalah kalau aku nyupir sendirian ke Jogja. Toh hanya sekitar tiga jam aja. Pak Adil sempat mengkhawatirkanku, mengapa tidak diantar supir saja. “Toh kalau mau stay disana bisa minta sopir disana untuk mengantarkanmu kemanapun kamu mau!”
“Tidak usah Pak, saya kan juga butuh privacy”. Candaku.
“Ah, kamu ini privacy apa. Bilang aja mau ketemu pacar iya kan? Hahaha...”
Setelah berhasil meyakinkan Pak Adil bahwa aku akan baik2 saja dan berhati2 dijalan, akhirnya beliau menutup telponnya. Huff... konsen jalan. Aku tersenyum sendiri mengingat kata2 Pak Adil barusan. Beliau memang dekat denganku, rasanya seperti bapakku saja. Jadi kangen rumah. Semoga Papi Mami sehat aja, doaku.
**
Tepat Adzan Maghrib aku sampai di kantor cabang. Agak macet di Secang sore ini karena ada truk pasir yang guling. Mumpung masih ditempat parkir, aku langsung ke Masjid yang letaknya disebelah lapangan parkir. Takutnya kalau sudah ketemu Pak Bambang, berarti ketemu masalah dan waktu sholatku usai.
“Vio, belum pulang?” Sapaku pada sekretaris Pak Bambang.
“Eh, mbak Dis. Belum mbak, beberes nih. Mbak kapan dateng? Sama siapa? Kok aku gak dikasih tau yah kalau mbak mau dateng?” Berondongnya.
“Secret mission Vi, stt”. Kataku sambil menempelkan telunjukku diujung bibir. “Bapak ada tamu nggak?” Tanyaku.
“Nggak ada mbak, masuk aja”.
“Ok deh, aku masuk duluan yah?”
**
“Memang dia banyak memberikan kontribusi untuk perusahaan ini, tapi kerugian yang kita dapatkan juga banyak. Kalau begini terus bisa2 perusahaan ini bangkrut karena ulah dia. Saya sudah mengajukan surat pemecatan ke pusat, saya minta kamu yang proses ya? Oya segera mungkin cari penggantinya ya? Kalau perlu kita lakukan anajab, untuk cari penggantinya. Kita cari orang dalam saja. Pak Adil sudah setuju, beliau mencalonkan Rahman. Menurut kamu gimana Dis?”
“Track record Rahman cukup baik Pak, saya rasa kalau sudah ada calon yang baik langsung diproses saja tidak perlu anajab. Membuang waktu dan biaya pak”.
**
Hampir jam 9 akhirnya semua selesai. Semua bukti kelalaian Pak Diman dan kerugian2 sudah dihitung. Mulai Senin Pak Diman harus segera membereskan pekerjaannya dan keluar dari kantor ini. Badan rasanya seperti habis dipukuli maling. Pegel. Pengen cepet sampai hotel trus berendam air panas untuk ngilangin capek.
Langit Jogja cukup cerah malem ini. Ditemani sebungkus keripik kentang aku duduk di balkon kamar hotel. Tak peduli dengan diet ku. Teman2 banyak yang bilang kalau aku sudah mulai terlihat kurus. Masih banyak becak bersliweran dan bule – bule bersepeda di depan hotel ini. Jadi teringat dulu, aku dan dia pernah bersepeda tengah malam mengitari alun – alun selatan yang lebih terkenal dengan sebutan Alkid (alun – alun kidul = selatan). Setiap malam tempat itu pasti ramai, terlebih lagi malam Minggu. Dan kami terkapar di pinggir jalan karena kelelahan mengayuh dan tertawa.
Semilir angin bertiup lembut di telingaku. Membuat seluruh tubuhku seperti tersengat aliran aneh, aku merinding. Kurapatkan blazer yang sedari tadi belum ku lepas dan menyalakan mp3 dari laptop ku. Lagu Jogjakarta milik KLA Project mengalun pelan. Teringat dua tahun yang lalu, yah tepatnya lusa. 15 september. Aku segera membenamkan diri ke bathup mencoba menghapus kenangan itu. Sayup lagu itu masih terdegar. Dan rasa panas air ini seperti menusuk ke tulang. Ah aku nggak boleh terlalu lama berlarut di kamar ini. Segera kusudahi acara berendamku. Bergegas kurapikan rambutku, ku gerai karena masih setengah basah. Dengan balutan sweater putih rajut lengan panjang dan jeans pensil aku rasa cukup rapi dan santai, ditambah sepatu kets. Kamera SLR, dompet, notes dan peta semua masuk di tas punggungku. Untuk barang terakhir tadi wajib aku bawa. Entah kenapa, berkali – kali aku kesini tak juga bisa menghafal jalan yang jadi tujuanku.
Tulisan Ambarukmo Plaza terpampang besar dihadapanku. Tapi aku sedang tidak ingin shopping malam ini. Paling sebentar lagi tutup. Kulambatkan laju mobilku. Mencari tempat yang unik. Rasanya aku butuh sedikit cafein. Kopi. Tiba di suatu tempat ngopi tak jauh dari Amplaz. Tempat parkir terlihat penuh namun suasana ramai tak terlihat dari luar. Mungkin memang sang pemilik mendekorasinya demikian, suasana tenang membuat pengunjung penasaran dengan isi didalamnya. Sepertiku malam ini. Mantap kulangkahkan kaki memasuki cafe itu. Meski sendirian. Tempat ini memang ramai tapi tidak berisik. Alunan lagu Sesaat kau hadir milik Balawan memenuhi ruang cafe juga memenuhi ruang hatiku.
Bersama Bayanganmu Kasih Seakan Akan ku Terjaga Dari Mimpi Mimpi
Dari Kehidupan Yang Semu dan Melenakanku
Membuat ku Terlupa Akan Segala Galanya
Hari ini Hari ini aku Mencoba Berdiri dan Melangkah Lagi
Bila Esok Sinar Mentari Pagi Kan Bersinar Lagi
aku Kan Menuju Cita Cita Yang Pasti
Sekian detik aku terpaku didepan pintu cafe saat mendengar alunan lagu itu. “Ada yang bisa saya bantu, Nona? Untuk berapa orang?” sapa waiter bernama Agus, terbaca dari name tag nya. “sendiri, ada spot yang asik?” kataku tersenyum. Dan Agus ini menggiringku ke sudut ruangan dekat rak buku dan jendela yang menawarkan pemandangan taman dibelakang cafe. Hanya ada dua kursi sofa yang terlihat empuk dan nyaman, satu meja bundar juga lampu yang menempel di dinding yang menghadap kebawah menerangi meja seperti lampu belajar tapi sangat artistik sesuai dengan konsep cafe ini. Cafe ini seperti konsep kedai kopi kebanyakan. Remang – remang namun sedikit berbeda karena ada library kecil disudut ruangan. Semacam book cafe. Disisi lain, lampu – lampu dibuat menjuntai panjang hampir dekat dengan meja dengan sofa – sofa besar berwarna merah dan coklat yang berpadu cantik dan live music dengan band lokal yang menghibur dengan genre yang berbeda di tiap malamnya. Juga di bagian belakang cafe, nuansa outdoor dengan bangku dan payung – payung kayu. Kebanyakan sejoli yang berpacaran berada di spot ini. Dan mungkin jika aku bersamanya, aku juga akan memilih tempat ini. Bersama menikmati malam, memandangi bintang dan memimpikan masa depan. Seperti dulu. Sigh. Beberapa pasang mata menatapku. Heran? Mungkin. Karena aku sendirian, perempuan malam – malam begini? So what?
“Mau pesan apa, Nona?” si Agus ini terus memanggilku Nona sembari menyodorkan buku menu. “Spesial hari ini ada Iga bakar keju, spagetti seafood atau mungkin banana atau strawbeery ice cream?” tawarnya. Aku tak begitu tertarik membaca buku menu itu. Dan aku rasa Agus salah menawariku makanan yang ia sebutkan tadi. Hoyaaa... ini sudah jam berapa? Kamu mau aku menggemuk dengan makanan ekstra berlemak itu? “Saya hanya butuh kopi, ada chococoffee?” Agus mencatat pesananku dan berlalu. Aku belum makan dari siang tapi aku sedang tak selera makan malam ini. Tak sampai lima menit pesananku datang. Kusesap sedikit selagi panas dan mataku berkeliling memandangi sekitar. Membaca deretan judul buku yang tertata rapi di rak sebelahku duduk. Buku – buku politik, buku inspiratif, biografi tokoh luar dan dalam negeri, novel luar sampai novel teenlit tertata apik sesuai kategori yang tertulis di pinggir rak. Di beberapa meja terlihat sepasang sejoli bercanda, tertawa atau sekelompok mahasiswa yang berkumpul menyambut weekend, beberapa warga asing alias bule juga terlihat menikmati kopi di sisi kiriku. Mengobrol tenang hampir seperti bergumam tak jelas, ya aku memang tak mengerti bahasa mereka (kalau didengar logatnya mungkin dari Perancis), tidak seperti sekelompok orang yang terpaut tiga meja didepanku, dilihat dari penampilannya seperti masih mahasiswa. Mereka bercanda tertawa terbahak seperti membicarakan orang lain. Karena terdengar : “si anu tuh, gila aja bisa – bisanya pulang pagi jalan tanpa sepatu. Kaya abis dibuang aja ma oom – oom”. Dan lagi – lagi mereka terbahak. Mendengar tawa mereka membuatku tersenyum miris. Aku merindukan teman-teman kuliahku dulu. Fandi, Flo, Resti, Dina, Jo dan Bono. Ah, kemana mereka sekarang ya? Aku merasa salah tempat. Merasa sendirian di keramaian ini. Hatiku berdesir seketika saat terlintas bayangan Vara.
Kusesap lagi kopi dihadapanku. Kopi, minuman kesukaan Vara. Dia juga yang membuatku ikut menyukai kopi. “Kopi itu bikin tenang, ada sensasi beda daripada minuman lainnya. Katanya kopi bisa mendeskripsikan karakter lho” katanya suatu sore petama kalinya Vara memintaku membuatkan kopi untuknya. “Maksudmu seperti bukunya Dee? Filosofi kopi? Kamu memang tau atau menjiplak?” candaku. “Ini soal rasa, dan kebetulan aja ada referensi buku yang mendukung dari yang aku rasa”. Aku pikir dia nggak terlalu tahu tentang kopi, begitu juga aku. Awam. Dia hanya tahu yang dia rasa. Kopi membuatnya tenang, membuatnya berbeda menikmati suasana yang ada. “Ok deh, kalau gitu kamu mau dibuatin kopi apa?” Tanyaku. Ini hanya intermezo kan? Obrolan sok tahu. “Kopi tubruk aja” Aku tertawa terkekeh. “mencerminkan kamu yang suka asal tubruk ya?” tinjuku mendarat pelan dibahunya. “Enak aja, kopi tubruk itu alami, natural, harum biji asli”. Harum biji asli kopi pilihan, seperti mengutip iklan salah satu brand kopi. “Gak neko – neko, sederhana, gak perlu tambahan apapun bikinnya juga cepet. Tapi coba deh cium wanginya, selalu bikin ketagihan. Seperti kamu”. Shit, benar dia merayu. Ya Tuhan, aku merindukan dia.
Aku mengambil salah satu buku di yang berjajar di rak bertuliskan ‘novel domestik’, aku sedang tidak ingin membaca buku berat, biografi apalagi politik tapi tidak juga teenlit. Teringat umur. Ingin yang ringan saja untuk mengalihkan kesendirianku, pikiranku dan segala rasa yang menghimpit hatiku saat ini. Jogja dan segala tentangnya. Dan nama Dee dengan Perahu Kertas-nya menarik pandanganku. Aku sudah punya bukunya, sudah membacanya dua kali. Entah kenapa aku ingin mengulangnya lagi. Apa karena Vara yang memberikannya padaku dulu? Vara, setiap nama itu terlintas berdesir juga hatiku.
Karma Charmeleon, pilihan nama yang unik. Kenapa Dee begitu kreatif memberi sebuah nama di setiap karakter dalam tulisan-tulisannya. Dee memang berbakat, aku mengaguminya. “sendirian aja Nona? Asik bener baca bukunya?” Awalnya aku tak begitu menggubris panggilan Nona tadi, paling Agus atau rekan sejawatnya yang ingin menawariku menu lain. Tapi setelah kalimat keduanya berasa mengusikku dan membuatku mendongakkan kepala, menyipitkan sebelah mata dalam keremangan cafe itu. “Apa kabar Dis?” katanya lagi sambil mengulurkan tangannya saat aku masih terbengong memandangi wajahnya tak percaya. Dimas.
*to be continue*

Adakah saran, cerita ini mw dibawa kemana? Haha...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar