Malaikat Kecil
Rush merah itu melaju kencang menyibak hujan yang deras mengguyur kota ini sedari siang tadi. Tubuhnya bergetar hebat. Tangannya hampir mati rasa memegang setir dan beberapa kali meleset menginjak perseneling dan gas. Kakinya juga hampir mati rasa karena terlalu gugup. Ah, bukan. Bukan gugup. Tapi penyatuan dari rasa marah dan takut. Nervous. Entahlah. Rasanya seperti mengejar artis ibukota. Tapi yang ada dihadapannya saat ini bukan artis melainkan lelaki yang semalam bercinta dengannya. Ada rasa yang seperti ingin meledak. Kenyataan yang membuatnya marah. Belum genap 20 jam yang lalu, ia bilang akan tetap mencintainya. Namun yang ada sekarang, lelaki itu baru saja selesai mengikuti seminar tentang pernikahan. Dan yang membuatnya lebih marah lagi adalah lelaki itu datang bukan bersamanya, melainkan dengan perempuan yang ia bilang tak pernah ada rasa lagi dengannya. Yah, Dissa tahu perempuan itu pernah menjadi bagian hidupnya. Mala. Perempuan itu mantannya. Itu yang selalu ia katakan untuk meyakinkan Dissa. Hanya sekedar mantan. Tapi sekarang? Apa maksudnya datang di seminar pernikahan bersamanya?
Hujan semakin deras, kakinya semakin gemetar hebat. Adrenalin mengalir deras ditubuhnya. Tubuhnya menegang, asam lambungnya berasa naik, pengen muntah. Tenggorokannya kering. Dissa meraba – raba mencari botol air mineral dibelakang kursinya. Matanya tetap tak mau lepas dari Avanza hitam didepannya. Vara, lelaki yang teramat dicintainya dan perempuan yang dibilangnya hanya sekedar mantan ada di dalam mobil hitam itu. Dissa sengaja mengikutinya. Mengikuti? Atau membuntuti? Ah entahlah, yang pasti jarak antara 2 mobil itu hanya sekitar 1 meter saja. Vara berusaha menghilang dari kejaran Dissa, namun itu hanya membuat Dissa semakin marah. Beberapa kali Dissa dengan sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil Vara, meski pelan. Lelaki itu paling tidak suka benda atau apapun yang dia miliki rusak atau lecet terlebih sesuatu hasil keringatnya sendiri. Ia sengaja membuat Vara juga marah. Tapi Vara tak bergeming.
Kedua mobil itu seakan ikut balapan liar. Dissa tak peduli meski ia nantinya nyerempet mobil orang atau nabrak sekalipun, bahkan ia juga tidak peduli ada Polisi yang akan mengejarnya. Dia tidak rela ada yang menghalangi pandangannya dari aktivitas di dalam mobil didepannya. Terlihat Vara mengelus kepala Mala. Hatinya kembali berdesir. Bunyi klakson pun membabi buta, “minggir! Shit!!” Teriaknya saat tiba2 tukang becak nyelonong nyebrang. Hampir saja Dissa menabraknya. Mobil hitam itu belum hilang dari pandangannya.
Tak berapa jauh mobil Vara menepi, dan ia keluar menghampiri Dissa. “apa – apaan sih Be?” kata pertamanya saat aku buka jendela sampingku. Hujan mulai reda, gerimis membasahi rambut Vara. “Hai, Bi. Seru juga yah kebut – kebutan ditengah ujan deres gini? Hebat gak aku nyetirnya?” Dissa memaksakan senyum namun hatinya teriris. Sebenarnya ia juga mulai menikmati acara ini. Toh kakinya sudah tak gemetar sehebat tadi. Tapi rasa dingin membeku menyelimuti tubuhnya. Seperti hatinya yang beku terselimuti amarahnya.
“Dis, bahaya ah, gak boleh gitu lagi ya? Sekarang pulang deh...”
“Nggak...” potongnya cepat.
“Dis, pulang yah, nanti kita bicara” Dissa menghela nafas, selalu sikapnya seperti ini. Tenang, seolah tak terjadi apapun. Dulu, sikap seperti ini yang membuat semakin jatuh cinta padanya. Cara berpikirnya yang dewasa membuatnya aman dan nyaman disampingnya. Tapi sekarang, apa masih harus bersikap seolah tak terjadi apapun?.
Dissa tak kuasa lagi menahan sejuta pertanyaan di otaknya, “ ngapain kamu pergi sama tuh cewek? Seru seminarnya? Kapan nikah?”
“hh, Dis...” Vara sedikit tercekat. “Ok lah kita bicara, kamu mau dimana? Tentuin tempatnya. Kita bicara”. Katanya sedikit kesal.
“Aku ikut kamu”. Kataku tak kalah ketusnya.
“OK ikutin aku”. Vara kembali masuk ke mobilnya. Dissa melihat Mala mengambil tissu dari dashboard, Ah dia menangis? Batinku juga menangis!
Hampir separuh kota ini sudah dikelilingi, masih dengan cara menyupir bak pembalap liar seperti tadi. 30 menit, belum juga ada tanda – tanda mobil Vara akan memasuki resto, cafe, rumah atau tempat apapun. Belum juga ada tanda – tanda manusia didepannya itu mau menghentikan mobilnya. Dissa sempat melihat kekesalan Vara dari dalam mobilnya. Seperti sedang beradu mulut. Ah, aku tak peduli. Matanya tetap fokus ke mobil Vara, tapi otaknya melayang pada kejadian beberapa malam terakhir ini.
Kemarin lusa, Dissa menjemput Vara dikantornya, makam malam bersama. Dan seperti biasa, setelah makan mereka mengobrol menghabiskan malam sambil berkeliling kota. Atau ke tempat – tempat yang biasa mereka datangi untuk menikmati gemerlapnya lampu kota di malam hari. Malam itu cerah, tidak seperti beberapa hari belakangan cuaca tidak menentu. Mobil memasuki kawasan perumahan elit, disana ada satu tempat yang sering mereka kunjungi. Sebuah tanah lapang dipinggir tebing. Berada di daerah perbukitan, jadi sangat indah melihat kota dari sini. Dan malam itu, untuk pertama kalinya mereka bercinta di dalam mobil. Meski ‘bercinta’ ini bukan hal pertama yang mereka lakukan. Hampir tengah malam mereka pulang ke rumah masing – masing dan berjanji esok akan bercinta lagi. Janji bercinta, sewa kamar atau ke apartement Dissa itu sudah jadi hal yang sangat biasa. Bahkan sudah dijadwalkan paling tidak dua minggu sekali atau mungkin bisa saja seminggu penuh bercinta.
Dissa meraba sebelah payudaranya, nyerinya masih terasa. Vara suka sekali meninggalkan bekas ciuman mautnya dipayudaranya. Baru 20 jam yang lalu, bekasnya belum hilang, dan Dia yakin bekas ciuman dileher lelaki itu pun juga pasti belum hilang. Baru semalam Vara bercinta dengannya. Memberinya kejutan. Tidak seperti biasanya, Vara sudah menunggu didepan kantor Dissa sebelum jam pulang selesai. Padahal Vara paling malas menunggu.
Dan tadi pagi, Dissa baru menyadari kalau tanggal menstruasinya sudah lewat dua minggu. Segera ia mencari testpack yang disimpan di lemari pakaiannya. Dissa terpekur di dudukan toilet memandangi benda kecil didepannya yang menunjukkan dua garis, artinya ia positif hamil (lagi). Air matanya mengalir. Dissa masih belum bisa mengerti perasaan yang menyusupi hatinya. Sedih, bahagia tapi ia begitu membenci hal ini. Tak ingin kejadian setahun lalu terulang lagi.
Dissa mengelus perutnya. Tadi pagi berkali – kali Ia mencoba menghubungi Vara ke semua nomor yang dipunyainya. Tak ada jawaban. Hampir tengah siang disaat Dissa meratapi hidupnya, tiba – tiba Hpnya berbunyi. SMS. Berharap Vara menghubunginya. Ternyata, Fania. Sahabatnya semasa kuliah dulu. Seketika tangannya kaku, berkali – kali tak percaya membaca tulisan di Hpnya. Vara ikutan seminar pernikahan neh, kok gak ama elo? Lo udah lama putus yah? Lo kenal ma calonnya Vara gak?. Fania adalah asisten salah satu pembicara di seminar itu yang notabene Psikolog terkenal di kota ini. Damn! Terbuat dari apa sih hati dan otaknya itu?. Hatinya hancur. Secepat kilat Ia menyambar kunci mobil disebelah tempat tidurnya.
**
Mereka bukan sekedar making love, tapi benar – benar having sex. Dissa melihat ada yang berbeda di mata Vara. Sikapnya juga sedikit aneh. Vara gak memperbolehkan Dissa memuaskannya dulu, justru ia menyerahkan dirinya untuk melayani Dissa sepuasnya. “kenapa?” Vara hanya tersenyum, Dissa tak bisa berpikir lagi. Bercinta selalu membuat otaknya melayang entah kemana, membuatnya bahagia, penat karena kerjaan, stress semua menghilang setiap Vara mencumbunya. Hatinya semakin nyeri ketika disadarinya mobil mereka menuju ke arah hotel yang mereka sewa semalam. Ngapain dia kearah sini sih? Apa dia lupa semalam menghabiskan waktu bersamaku disini?. Hotel itu semakin dekat. Hujan deras kembali mengguyur kota. Lebih tepatnya badai, karena dibarengi angin kencang dan jarak pandang yang minim sekali. Terasa ada yang mengalir hangat dibalik kacamatanya. Come on Dis, gak boleh nangis. Batinnya. Tapi hatinya semakin sakit. Bayangan semalam muncul lagi dimatanya. Mereka berdua yang saling becumbu, berebut oksigen dan beradu peluh juga ucapan – ucapan sayang yang keluar setiap detik. Lagi – lagi Ia mengelus perutnya. Ah, Vara. Rencana apa yang ada diotakmu?.
Jalan semakin menanjak dan berliku hujan semakin deras angin semakin kencang. Jalanan terlihat sepi. Semua orang juga pasti lebih memilih tidur dirumah atau nonton TV ketimbang beraktivitas ditengah badai seperti ini. Hampir satu jam dijalanan dan mobil Vara belum juga mau berhenti. Tak jelas tujuannya kemana. Justru semakin kencang melaju, kulihat di speedometer jarum menunjuk ke angka 120. Sepertinya Vara bukan berniat berhenti dan bicara tapi menghilang. Jangan harap menghilang dariku, Bi!
Mobil melaju ke daerah perbukitan dipinggir kota, kabut semakin tebal. Tiba – tiba saja ada pohon tumbang didepan mobil Vara. Jalan licin membuat bunyi decitan rem yang memekakkan telinga. Dissa refleks teriak, “Abiiiiii!!” Dan ia tak kuasa mengendalikan rem mobilnya. Dissa banting setir kekiri. Brakkk!!
Mobil Dissa jatuh ke jurang, dia meninggal seketika. Mobilnya hancur. Terasa ringan dan Dissa bisa melihat tubuh Vara dibawa masuk dalam ambulans, hanya ada luka dipelipisnya. Dan perempuan bernama Mala itu begitu banyak mengeluarkan darah. Pasti perempuan itu meninggal. Semoga Vara baik – baik saja. Tapi kenapa aku bisa melihat mereka? Aku sendiri juga bisa melihat mobilku dibawah sana. Apa aku meninggal? Tiba – tiba sebuah tangan mungil yang hangat menyentuh tanganku.
“Bunda, ikut adek yuk?” seketika air matanya mengalir deras. Bunda? Ya Tuhan, apa aku dipertemukan oleh anakku, dan berarti aku memang mati. Bocah mungil inikah yang mati- matian aku gugurin setahun yang lalu?. Hanya karena Vara bilang belum siap menikah. Ya Tuhan, sungguh berdosanya aku. Sejenak Dissa merasakan damai, ia tak lagi dikejar dosa sekarang ia dipertemukan dengan anaknya. Tubuh Vara kini ada dihadapannya. Tak bergerak.
**
Bunyi sirene ini membuatku takut. Kepalaku pusing sekali, punggungku, ugh, rasanya tak bisa bergerak. Sakit semua.
“Ayah...” tiba – tiba ada suara halus memanggilku. Ah apakah benar memanggilku? Aku sendiri tak bisa melihatnya, tapi suara itu seperti dekat ditelingaku.
“Ayah, buka mata... Nanti sakitnya pasti hilang”. Siapa bocah kecil ini? Seperti tahu yang aku pikirkan. Aku tak mau merasakan sakit ini. Perlahan aku buka mataku, samar – samar yang aku lihat hanya seorang perempuan berpakaian putih bertopi ala suster mengatur infus yang bergantung diatas kepalaku. Dan seorang lelaki juga berpakaian putih sedang berbicara dengan orang dihadapannya. Aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Pasti mereka akan membawaku ke rumah sakit karena tubuhku rasanya bergoncang dan bunyi sirene ini semakin lama membuat telingaku tuli. Ah, kepala ku sakit. Ada apa denganku? Yang aku ingat tadi ada pohon besar tiba – tiba tumbang didepanku. Apa aku kecelakaan?
“Ayah, buka mata... nanti pasti sakitnya hilang” suara itu lagi, seolah menggodaku. Aku sudah buka mata, tapi yang aku rasakan semakin sakit.
“Ayah...” Ayah? Bocah ini ngomong sama siapa sih? Aku kan belum punya anak?
Perlahan Vara membuka matanya, namun yang dirasakannya berbeda. Ia seperti tidak di dalam ambulans lagi. Mungkin sudah di ruang UGD, pikirnya. Tubuhnya terasa ringan. Samar – samar ia melihat perempuan berbaju putih lagi, pasti suster itu lagi. Tapi kali ini tidak memakai topi susternya, rambutnya panjang sebahu. Sepertinya aku mengenalnya. Ia tersenyum padaku. Dan aku tak merasakan sakit itu lagi. Rasanya damai.
Tangan mungil menyentuh bahuku, “Ayah...” panggilnya lagi. Kali ini aku sudah bisa melihatnya jelas. Dan yang dipanggilnya ayah memang aku.
“Kamu siapa?” bocah itu hanya tersenyum seolah memintaku bangun dari ranjangku.
“Kita main sama bunda yuk?” ajaknya. Kemudian menoleh pada perempuan cantik yang tersenyum padaku tadi. “Bunda...” kataku lirih. Mataku belum bisa melihatnya jelas.
Bocah itu menggandeng tanganku disebelah kanannya dan menggandeng perempuan yang dipanggilnya Bunda itu disebelah kirinya. Mereka selalu tersenyum. Membuatku bingung. Perlahan aku mengenalinya, perempuan yang dipanggilnya Bunda adalah Dissa. Dia terlihat cantik sekali memakai gaun putih. Tiga tahun aku bersamanya tak pernah melihatnya memakai gaun putih. Karena Dissa tidak begitu suka dengan baju putih.
“Dia anak kita Bi,” katanya menyadarkanku dari lamunanku pada masa lalu. Bocah kecil itu menggandeng aku dan Bundanya menuju pintu keluar. Baru beberapa langkah kemudian bocah itu menoleh kebelakang, dan berbicara seolah ada seseorang disana. Aku sendiri tak bisa melihatnya. “terima kasih telah menemukan Ayah dan Bundaku...”.
Epilog
Bunyi sirene kedua ambulans bersautan, satu membawa tubuh Vara dan satunya lagi membawa tubuh Mala. Sementara beberapa warga sedang berusaha mengevakuasi tubuh Dissa dari dalam mobilnya yang hancur dibawah tebing. Vara menghembuskan nafas terakhirnya dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Meski banyak mengeluarkan darah, namun Mala masih bernafas. Kakinya patah dan ada trauma serius dikepalanya. Mala kehilangan ingatannya. Amnesia.
Semarang / Oktober 24, 2010
13.58 wib
Fin
prolognya bagus,.. isinya oke, intriknya jelas. nyambung. cuman endingnya aga ga berasa, ga ada bekasnya.. dan seketika selesai.
BalasHapussip2.