So, What ur obsession? Pernah nggak kamu punya obsesi terhadap seseorang? Saking terobsesinya sampai – sampai kamu melakukan hal – hal – bisa dibilang – gila! Begitu terobsesinya sampai – sampai kamu berusaha mencari tahu semua tentang dia melalui teman – temannya, siapa saja pacarnya or mantannya, jam kerjanya, tempat nongkrongnya, hingga mungkin merk celana dalamnya – bisa saja terjadi kan?
Pernah baca Cintapuccino – Icha Rahmanti (not me!)? Yang denger – denger mo di buat filmnya. Tentang obsesi Rahmi terhadap Nimo, teman SMAnya. Yang begitu terobsesinya sampai-sampai selama bertahun-tahun menjadikan namanya sebagai password email-nya. Mungkin buat sebagian orang itu hal yang wajar. Atau sebenarnya ia juga terobsesi, paling tidak, pernah. Mungkin juga ia tidak menyadarinya bahwa ia telah terobsesi. Pernahkah seperti itu? Jawabanku: pernah banget! He always running on my mind. Dulu………
Entahlah, awalnya aku tak pernah sedikitpun berpikiran bahwa ia yang akan selalu mengisi hari - hariku. Ya, hari – hariku. Sangat tepat jika dibilang: sangat mengganggu hari – hariku. Hanya sepuluh hari bersamanya, membuatku merubah semua pemikiranku, pendirianku, pastinya jalan hidupku (kalo film: tiga hari tuk slamanya?. Nonton? Aku seh nggak, pantes, ga’ nyambung ya?) – apa seh?? Dan setelah aku meninggalkannya, lebih tepatnya dia yang meninggalkanku (ok, ok setelah sebelumnya aku mencoba untuk meninggalkannya tapi ternyata aku tak bisa. Karena ia selalu ada dimana aku berada, menempel erat diotakku), is he my obsession? Or love?.
Aku terus berusaha mencari info tentang dia. Apapun aku lakukan untuk dia (?). Hee.. untuk kepuasanku sendiri ya? J Kadang aku marah dengan diriku sendiri, aku merasa begitu jahat. Menghalalkan segala cara to know anything about him. Ah, dia membuatku kehilangan akal sehat. Membuatku hampir gila! Mau tahu daftar kegilaan dan kejahatanku? Aku pernah dalam sehari lebih dari 6x lewat depan tempat kerjanya, lebih dari 25x dalam seminggu berharap bisa melihatnya. Hanya melihatnya, and I hope he just fine. Menelepon rumahnya lebih dari 3x sehari (seperti yang selalu ia lakukan dulu, hanya untuk menanyakan: masih cintakah kamu ma aku?) dan begitu telpon diangkat, aku tutup (karena mendengar suaranya sudah membuatku gemetar). Mencari tahu no HP-nya yang baru (ia mengganti nomornya setelah putus denganku, katanya sih disuruh ganti ma pacarnya, I’m just a second girlfriend L) lewat seorang teman yang kebetulan kerja di salah satu provider (maaf bgt!). Mencari tahu rumah pacarnya, segala tentang keluarganya. Tiap weekend, yang rela kedinginan, pasang mata mengamati dari jauh pas dia nongkrong ma clubnya, sampai pulang tengah malam dan pasti ada sejuta pertanyaan dari orang tuaku yang membuat telingaku panas. Ah, masih banyak lagi. Aku sendiri juga lupa udah ngapain aja J
Ini cinta atau hanya obsesiku? Ngutip lagi dari novelnya Icha (not me!). Kalau cinta diibaratkan seperti secangkir kopi hitam reguler, yang natural, seperti habitnya black coffee, cinta dengan obsesi yang mengkronis, seperti secangkir cappuccino — perpaduan espresso (ekstrak kopi yang lebih kuat, sekuat keyakinan yang membuat sebuah obesesi menjadi penyakit menahun) dan susu (hal-hal indah dan manis yang sesekali terjadi, tapi justru memperkuat perasaan itu). I love coffee very much, cappuccino tu juga enak banget. Tapi aku ga pengen punya obsesi mengkronis, ga dapet bisa gila! Apa mungkin sudah, atau malah akut? Apa bedanya? Ah, Semoga saja tidak. Cinta, obsesi tau kopi seh??
Hhh… Ga terasa setahun lebih berlalu. Rasanya sesuatu yang membebani hatiku semakin berkurang. Mungkin aku terlalu lelah berlari (hmm, nggak deh. Kayanya kemaren naek becak tuh), atau mungkin sesuatu itu sedikit demi sedikit terkikis menghilang terbawa angin, hanyut terbawa air. Pecahkan saja gelasnya, biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh (hahahaha…!). Ups!! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar